Contoh Novel Singkat Tentang Bencana Alam dan Manusia
Contoh Novel Singkat |
Menulisindonesia.com
– Contoh Novel Singkat berikut ini berisikan tentang bencana alam dan tingkah
laku manusia.
Bahkan contoh novel singkat ini merupakan Novel saduran dari naskah teater yang ditulis dan digarap siswa-siswi SD
Muhammadiyah Metro Pusat Lampung yang tergabung dalam program Gerakan Seniman
Masuk Sekolah atau GSMS.
Adapun nama-nama
penulis yang saat ini naskahnya dijadikan contoh novel singkat tentang bencana
alam dan tingkah laku manusia ini adalah sebagai berikut:
Khanza Anindita,
Qaanita Aqeela, Nayla Khalisya Purnomo, Khansa Hanna E, Shafa Putri Andria,
Adam Mikhail Husin, Atha Raditya Ar Rayyan.
Pranaja Argantha
Sultan, Humairaa Amaani Najwa, Jacinda Alvania Fithorosi, Naila Atikah Adya Zahra,
Rifaya Samaira Noya Riza.
Naira Anjum
Humayun, Ayatul Husna Syamila, Ayfa Maharani Fajriana Rohman, Fiqrinata Maulana
Yusuf, Akhyar Rizqi Ardiyanto.
Asyraf Azi Al
Farabi, Nawwal, Azriel Ridwan Maulana, Mustika Fithri Cahyaningtyas, Anisa
Nurshalima Hidayat Dalimunthe, Mischa Fitriani.
Azka Anindita
Qurrota Aini, Zahra Salsabilla Khairunissa, Aulia Putri Ikramiya, Aura Putri
Maharani.
Naura Efra
Ramadhani, Annisa Qurrata A’yun, Mazaya Syifa Rahma, Anindya Dzatin Nabila,
Okta Putri Khairani, Ghassana Muthia Tsaaqib.
M. Rafie
Khaizuran Putra, Gendis Kayla Belka Ziva, Azizah Izzatul Jannah, Aluna Kirania
Rizky Danova, Kenzi Nararya Al Maturidi, Ardhya Rihanna Devi.
Selain itu
naskah yang kini jadi contoh novel singkat ini juga dipandu oleh Yoga Pratama
dan Mamay Mayasari sebagai pengampu GSMS di SD Muhammadiyah Metro Pusat.
Contoh Novel Singkat
Contoh Novel Singkat |
Contoh novel
singkat ini diangkat dari kumpulan naskah cerita yang dibukukan menjadi novel
berjudul Manusia “Manusia”.
Bahkan contoh
novel singkat yang ditulis ini juga dalam judul Manusia “Manusia” telah
dipentaskan dalam teater di Kota Metro oleh SD Muhammadiyah Metro Pusat.
Dan berikut ini
contoh novel singkat yang bisa kita nikmati dari Novel berjudul Manusia “Manusia”:
Deburan ombak
Yang tiada
hentinya
Menyapa pagi
Suara mengaji
QS. Al A’raf : 56-58 terdengar merdu dari sebuah rumah nan sederhana di sebuah
desa tepi pantai, di waktu antara terbit fajar dan menjelang terbit matahari.
Sementara, sebagian petani dan nelayan beraktifitas seperti biasanya.
Para nelayan
baru saja pulang menangkap ikan setelah seharian saat senja di hari sebelumnya
mereka berlayar. Para petani tengah menuju kebun ladang dan sawahnya untuk
bercocok tanam.
Bapak dan ibu
nelayan riang gembira membawa hasil tangkapannya yang melimpah, ikan yang besar
dan sehat. Bapak dan ibu petani menyangkul dan menanam dengan hati yang
sukaria, semangat 45, setiap cangkulan senyumannya begitu lepas karena sangat
bahagia.
Semua warga
memang terlihat sangat bersuka cita, hasil alam sangat melimpah, di laut ikan
besar-besar dan hasil tangkapan sangat banyak, di kebun ladang dan sawah
produksi hasil panen juga sangat baik. Nelayan dan petani saling bertukar hasil
tangkapan laut dan panennya.
Bapak ibu petani
dan nelayan ketika saling bertemupun berbincang dengan seru, menceritakan
aktifitasnya sehari-hari, menceritakan hasil tangkapan dan apa yang ditanam.
Pak RT, Bu RT,
dan Pak Kepala Desa juga demikian. Melihat warganya senang, hati mereka pun
girang. Ia berharap desa yang dipimpinnya selalu diberkahi nikmat sejahtera dan
tentram. Dan yang utama adalah rasa syukur.
Di hutan
binatang – binatang pun hidup rukun, tak berebut makanan, semua tercukupi, mau
buah, dedaunan, semua ada tinggal pilih. Gajah, harimau, monyet, badak, lebah,
ayam hutan, kancil, bahkan semut dan yang lainnya hidup damai bersatu hati
tidak saling mengganggu, justru saling membantu.
Begitupun ia
dengan manusia-manusia yang kerap memberikannya rasa aman dan nyaman, pasti ia akan
menjaga, bahkan apa yang ditanam petani mereka tak akan usik. Sungguh saat-saat
seperti ini, kehidupan mereka adalah contoh yang baik, manusia dan hewan saling
berseia dan bersekata untuk sama-sama saling menjaga.
Contoh Novel Singkat: Episode 1 Novel Manusia “Manusia”
Bulan berdiri
menidurkan sang
surya
sepi dan sunyi
mengundang
kantuk
dingin
menyelimuti
mata tertutup
hingga ke pagi
matahari
terbangun
burung bersiul
awan menari
pohon
meliuk-liuk
aku tersenyum
mata bersinar
melihat langit
cerah
surya memanas
mata menghindar
karena api surya
membakar kulit
Hari demi hari
terus bergulir. Para nelayan dan petani terus beraktifitas seperti biasa.
Seperti hari ini, memasuki malam yang indah, cahaya dari sang rembulan bersinar
begitu sangat terang.
Sungguh, bulan
bersinar begitu terang itu tampak indah dipandang. Para nelayan telah berada di
laut, mereka pergi mencari ikan dengan hati yang riang. Mereka optimis, hasil
tangkapan ikan dan sejenisnya sangat melimpah.
Sungguh
aktifitas ini adalah aktifitas yang menyenangkan, sebab, mereka pergi mencari
nafkah untuk menghidupi keluarganya di rumah. Dalam pengembaraan di laut luas,
dalam pencarian nafkahnya, mereka juga bisa menikmati indahnya ciptaan Tuhan
Yang Maha Esa.
Pagi harinya,
nelayan pulang dengan membawa banyak ikan hasil tangkapan. Para nelayan
bersyukur atas karunia yang Allah SWT berikan. Mereka bersujud setelah
mendaratkan perahu perahunya.
Bersujud ungkap
rasa syukur karena hasil tangkapan yang sangat melimpah. Mereka, para nelayan
sangat yakin, meski alat yang digunakan masih tradisional, mereka percaya
rezeki tak akan lari kemana.
Seperti malam
berlarut hingga pagi, nyatanya benar, selama manusia menjaga alam yang
diberikan Tuhan, Insha Allah semua akan melimpah tak berbatas.
Setelah tuangkan
rasa syukur, dalam simpuh sujud di bibir pantia tak jauh dari kapalnya
bersandara, mereka kini terlihat saling bantu membantu untuk mengangkat hasil
tangkapan ikan-ikannya tersebut, sembari bercerita seru yang menjadikan suasana
ramai dan meriah. Sesederhana itu mereka menikmati hidup.
“Alhamdulillah,”
sorai para nelayan melihat hasil tangkapannya.
Satu per satu
mereka saling mengucapkan selamat dan rasa syukur, terus dipanjatkan doa,
berharap laut tetap dijaga oleh semua isi jagat raya, termasuk manusia-manusia,
baik mereka yang menggantungkan hidup di laut sebagai nelayan, wisatawan yang
kerap menikmati keindahan laut, dan mereka yang memiliki kepentingan lain
terhadap laut dan isinya.
Sementara, di
tempat yang berbeda, rasa syukur para nelayan ini jugalah yang dirasakan oleh
para petani di darat. Keringat yang mereka keluarkan setelah bercocok tanam
berbuah kebahagiaan.
“Alhamdulillah,
mujur panen kali ini,” sorai beberapa petani.
“Alhamdulillah,
hari yang cerah, panen melimpah, semoga hidup aman sentosa dan sejahtera,” ujar
yang lain.
Para petani
terlihat begitu sangat bersemangat menikmati hasil panennya. Mereka pun saling
bertukar hasil panen, dari jagung, kacang, padi yang sudah ditumbuk menjadi
beras, mentimun, tomat, cabai, bawang merah dan putih, kentang, sayur-sayuran
dan yang lainnya.
Mengungkapkan
rasa syukur dengan saling berbagi satu sama lain. Inilah kebiasaan yang baik
dilingkungan mereka. Termasuk saling bertukar hasil tangkapan laut dengan hasil
panen ladang kebun dan sawah di darat.
Sementara di
tempat lainnya, binatang-binatang pun berdendang riang gembira, sebab mereka
bisa saling mengasihi, menikmati hidangan tanaman yang sangat melimpah di hutan
dan lautan luas dan bebas menikmati kekayaan alam yang melimpah air dan udara
yang begitu sangat segar.
Saat itu,
manusia dan binatang tidak saling mengganggu, justru saling memberi manfaat
satu sama lain.
Contoh Novel Singkat : Episode 2 Novel Manusia “Manusia”
Sampai pada
akhirnya, kebahagiaan menjadi kesedihan, nikmat yang lupa untuk dijaga,
beberapa oknum manusia rakus datang merusaknya.
Terlihat
aktifitas para pemburu, oknum oknum nelayan yang menangkap ikan dengan memberi
bom di dasar karang lautan, di perkotaan gedung-gedung dibangun, di hutan
lindung pohon-pohon ditebangi dan dibakar, manusia lainnya juga membuang sampah
sembarang telah menjadi kebiasaan.
Belum lagi di
perkotaan, kendaraan lalu lintas sangat padat. Traffic light seakan lelah
terlihat. Karena setiap hitungan detik harus bergantian, merah, kuning dan
hijau. Belum lagi asap knalpot dari kendaraan yang menggumpal, sesak dihirup,
pedih di mata.
Suara bising
dentuman pembangunan di antara beton-beton juga tampak menjadi pandangan yang
lumrah sekali. Niatnya memang baik, beton beton dan mesin itu saling
bekerjasama membangun gedung gedung untuk menampung jutaan manusia mencari
makan.
Namun, terkadang
ada yang dilupa, ruang terbuka hijau menjadi lalai keberadaanya, menjadi bagian
yang kerap dilupakan. Hingga, penebangan liat terjadi dimana-mana, aliran
irigasi untuk mengaliri air tak luput menyempit karenanya.
Sungguh, membuat
pandangan mata, dan mereka yang menghirup kini kebingungan, sebab, udara di
kota ini semakin sesak, polusi udara menyeruak, sampah berserakan semakin
membuat udara tak sejuk.
Tak hanya di
kota, di desa juga demikian, lautan menjadi tempat yang paling menyedihkan.
Harusnya dirawat, bahkan konservasi terus berjalan. Namun kali ini manusia
manusia itu salah jalan.
Sebab, dengan
enaknya mereka menangkap ikan dengan cara cara yang kotor, merusak biota laut,
tak hanya ikan, tetapi seisi lautan. Lautan dengan kejinya di bom hanya untuk
mendapatkan ikan.
Belum lagi, jika
melihat persoalan sampah wisatawan dan rumah rumah pinggir pantai yang
berserakan hingga mencemari lautan dan merusak habitat binatang laut.
Belum lagi pasir
laut yang disedot terus menerus, ditambang tanpa perhatikan dampak lingkungan,
tanpa memikirkan apa yang akan terjadi setelahnya. Bahkan di wilayah wilayah
yang menjadi cagar alam, hutan dari gunung gunung aktif di tengah laut yang
harusnya dilindungi.
Di kawasan
perhutanan, kini binatang sulit mencari makan, sebab tempatnya dibakar menjadi
lahan perkebunan, binatang binatang itu pun tak lepas juga menjadi buruan.
Hingga akhirnya, manusia dan binatang berebut tempat makan.
Bahkan banyak
petani yang kebingungan, mereka saling bergunjing ketidakberesan yang terjadi
pada hutannya.
“Pak Ahmat ini
bagaimana hutan kita semakin hari semakin hilang. Hewan hewan pada mengungsi
entah kemana,” kata Umar, salah satu petani.
“Iya semua ini
sebenarnya ulah manusia juga. Mereka tak bisa merawat. Penebangan liar
dimana-mana, mencemari alam adalah agenda yang sudah biasa. Ya sudah beginilah
jadinya,” Pak Ahmat menjawab dengan ekspresi yang sangat kecewa.
Pak Ahmat adalah
salah satu petani yang menjadi teladan bagi petani lainnya. Sama hal Pak RT dan
Ibu RT yang kerap memberikan imbauan dan edukasi kepada petani lainnya agar tak
mengganggu habitat di hutan.
Tapi kali ini
kerusakan justru terjadi pada manusia-manusia yang tempat tinggalnya tak berada
di wilayah tersebut. Menjadi kelalaian para petani lainnya, yang merasa semua
baik-baik saja. Hingga waktunya tiba, para oknum manusia tersebut datang
merusak dan memberi kabar ketakutan untuk manusia lainnya.
Sangat jelas
kerusakan itu. Di laut dan di hutan sama saja. Semuya mengeruk tanpa
mempertimbangkan dampak lingkungan. Bukit dan sungai, tanahnya dikeruk tanpa
henti untuk menjadi tanah tanah tambahan pembangunan di kota, pasir sungai
pasir laut disedot tanpa batas, terus menerus, tak ada lagi yang peduli akan
lingkungan.
Beberapa oknum
nelayan dan perusak hitung justru senang. Ia tak berpikir bahwa kerusakan yang
ia buat akan menyusahkan mereka juga.
Tetapi yang
mereka senang adalah ketika hari itu ada hasil, maka hari itu, dan esok hari
mereka nyaman dan aman dengan rupiah rupiah yang didapatkan.
“Ayo segera kita
pasang bom ikan ini, kita ambil semua yang ada di lautan ini dan kita menjadi
kaya, ha ha ha,” kelakar para oknum nelayan tersebut.
Sementara, di
tempat lainnya, di kawasan perbukitan dan hutan, aktifitas penambangan,
pembakaran lahan, dan penebangan pohon pohon ilegal dilakukan oleh oknum-oknum
pembuka lahan tak bertanggung jawab.
Oknum penambang
pasir di laut dan sungai terus menyedot pasir pasir tanpa henti. “Ayo segera
selesaikan pekerjaan ini, pekerjaan selesai, upah kalian kami jamin aman, ha ha
ha...” kata oknum-oknum perusak lingkungan tersebut.
Sampai pada
waktunya....
Episode 3 Contoh Novel Singkat Manusia “Manusia”
Kerusakan terus
terjadi. Semakin hari, laut dan hutan pegunungan eksosistemnya semakin hilang.
Nelayan dan petani pun saling mengeluh. Bingung dan kecewa dengan apa yang
tengah terjadi dengan mata pencariannya.
Yang mereka
takutkan, bumi tercemar, menjadi lautan sampah, dan gundukan kerusakan, dan
bahkan hanya tersisa abu pembakaran itu kini dihadapan mereka semua.
Para nelayan
mengeluh. Saling mengeluh tak berkesudahan. Hasil tangkapan ikan yang sedikit,
ikan-ikan mati tak layak makan karena bom ikan, terumbu karang yang hangus dan
tak indah. Belum lagi sampah dilautan menggelombang, mengombak kesana
kemari.
Para petani pun
demikian. Bahkan, sebagian mereka sudah berteriak-teriak. “Hutan hilang, hutan
hilang...”
Ladang tanaman
pun dirusak para binatang-binatang hutan yang juga membutuhkan makan.
Sementara, di hutan kini benar benar hilang, sulit untuk mendapatkan makanan.
Lahanya semakin hari semakin menyedihkan, penebangan liar hingga kebakarang,
pengerukan, semua kerusakan demi rupiah hari ini, entah bagaimana masa depan
mereka.
Pak Rafi, Ibu
Aissyah sepasang suami istri yang sehari-hari beraktifitas sebagai nelayan pun
mengeluh. Hari ini, tak ada tangkapan yang bisa ia nikmati, untuk dijual bahkan
untuk sekedar dimakan di rumah bersama keluarganya.
“Bumi tercemar,
sebab penuhnya sampah, di wilayahku. Duh Gusti, kutukan apa lagi ini,” kata Pak
Rafi yang sedih melihat jaring ikannya yang sedikit mendapatkan ikan, namun
penuh dengan sampah.
Sementara, Ibu
Aissyah masih mengamati dengan seksama hasil tangkapannya. Dilihat kembali,
berharap masih ada yang bisa diselamatkan. Meski tak bisa untuk dijual,
setidaknya bisa untuk dimakan.
Tapi harapan
tinggalah harapan, Ibu Aissyah menelan kekecewaan. Seperti kecewanya Pak Rafi
hari ini karena tak ada sedikit pun ikan yang masuk ke jaringnya. Malah sampah
dan sisa sisa biota laut yang keruh bekas di bom oleh oknum nelayan.
“Pak, kok
ikannya bau tak sedap, duh ini pasti ulah oknum manusia yang jahat, pasti ikan-ikan
di bom, mati dan menggenang menjadi satu dengan sampah sampah dan tersangkut
pada jaring nelayan tradisional seperti kita ini,” keluh Ibu Aissyah.
Demikian juga
yang dialami oleh nelayan lainnya. Raut wajah kecewa menjadi pemandangan yang
amat terang. Terik cahaya, pohon kelapa tua yang hampir saja mati, pasir pasir
pantai juga menjadi saksi kesedihan mereka.
Para nelayan
saling berhamburan, memekikan kekecewaan, dan sampai mereka berkumpul bersama
Pak Rafi dan Ibu Aissyah membahas yang telah terjadi di laut sana.
Suara mereka
terdengar gemuruh. Gemuruh itu terdengar begitu menyedihkan. Sehingga, suara
gemuruh Pak Rafi, Ibu Aissyah dan nelayan lainnya mengundang para petani yang
hendak ke ladang menuju kepadanya.
Rasa penasaran
itu pun datang. Ada apa yang sebenarnya
dikeluhkan Pak Rafi dan Ibu Aissyah, serta para nelayan lainnya? Itulah yang
membuat Pak Ahmat dan para petani lain penasaran. Apakah sama dengan yang
mereka juga keluhkan?
Pak Ahmat pun
menghampiri Pak Rafi, Ibu Aissyah, dan para nelayan bersama para petani
lainnya. Pak Ahmat dan para petani lainnya mendekat dengan tergopoh-gopoh.
Baca
Juga : Cerpen Tentang Keterbatasan Fisik Yang Sukses
“Ada apa ini Pak
Rafi, Ibu Aissyah dan yang lainnya? Kok nampak sedih dan kecewa hari ini,” kata
Pak Ahmat.
Suara sorai nada
yang sama pun disampaikan para petani lainnya. “Iya bapak dan ibu, ada apa
ini.”
“Ini loh pak,
laut sudah tercemar, bom ikan merajalela, sampah wisatawan menyesaki lautan,
hasil tangkapan para nelayan seperti kami menjadi sangat mengkhawatirkan,”
ungkap Pak Rafi kecewa.
“Sedih rasanya,
jangankan untuk dijual, untuk dimakan sendiri saja menakutkan ini ikan-ikan,”
tambah Ibu Aissyah.
Ungkapan-ungkapan
kekecewaan juga terdengar dari para nelayan lainnya. Pencemaran pada laut dan
upaya penangkapan ikan dengan cara cara yang salah ini menyiksa para nelayan
tradisional seperti mereka.
“Pencemaran alam
sudah dianggap biasa. Ya sudah begini jadinya,” keluh nelayan yang lainnya.
“Iya, begini
nasib kita, jaring mulai kering tangkapan ikan. Hanya ada sampah yang
menyangkut, sekalipun ikan, betul kata Ibu Aissyah sudah tak layak untuk
dimakan,” tambah dari salah satu mereka lagi.
“Lalu, kami mau
makan apa?” Timbul raut sedih, kecewa dan marah dari antara mereka, semakin
membuat keadaan khawatir.
Pak Ahmat dan
petani lain pun demikian. Mendengar keluhan para nelayan, mereka pun ikut
mengeluh dengan keadaan yang tengah terjadi. Tak hanya para nelayan, demikian
juga yang dialami petani di ladang dan kawasan hutan yang kini semakin binasa.
“Iya, makin ke
sini ulah manusia semakin menjadi-jadi, tak memikirkan manusia lainnya yang
masih butuh akan pengharapan pada kekayaan alam. Semua dirusak!” Pak Ahmat
benar-benar marah.
“Kemarin,
tanaman kami dirusak sekelompok gajah. Tapi kami percaya gajah tak bersalah.
Yang salah adalah oknum manusia yang tak bertanggung jawab karena telah merusak
habitatnya, sehingga para gajah mencari makan hingga masuk ke ladang ladang
kami,” timpal petani lainnya yang juga terlihat sedih kecewa dan marah.
Para petani
lainnya pun bersorai senada. Apa yang dialami benar-benar memprihatinkan. Salah
satu petani lainnya juga menceritakan kejadian yang ia lihat di hutan.
“Iya betul itu.
Bahkan kami ketika pergi ke hutan miris melihatnya, hutan hilang, pohon-pohon
hutan diberangus habis, batang-batang kayu dibawa ke kota,” ceritanya.
“Iya... iya...
betul. Bahkan hewan hewan hutan entah kemana, tak lagi terlihat,” keluh petani
lainnya yang juga membenarkan apa yang diceritakan temannya.
“Yang kami
takutkan bila mereka mengamuk, merusak segalanya, bukan hanya kepada mereka
para perusak hutan, tetapi kepada kami yang tak bersalah,” ujar Pak Ahmat.
“Iya betul. Kita
harus carikan solusinya,” suara kompak datang dari mereka yang ada di tempat
tersebut.
Nada kekompakan
pun bersambut. ”Iya, jangan sampai ulah sebagian manusia ini menjadi bencana
besar.”
Pak Rafi : Duh
Gusti.....
Kapal terombang
ambing
elang
berkelompok terbang memanggil senja untuk jangan terbenam
sebab ia belum
temukan makanan di lautan.
Orang orang
berlari ke ladang,
selamakan diri
mereka dari lapar
ladang pun rusak
tak ada lagi tanaman.
Kejahatan dunia
adalah kalkulasi uang
lalu dimanakah
binatang laut, ikan, ubur ubur bisa lagi berenang
atau hidup hanya
untuk bersumbunyi dibalik karang.
Suatu hari, pada
masanya, Tuhan berbicara pada manusia
pasir dan debu
akan tergulung bersama
langit menangis
menjadi saksi lautan tertiup dan ombak ombak menjadi angkara murka
manusia-manusia
disitulah memohon ampun.
Tuhan selamatkan
kami yang tak berdosa.
Episode 4 Contoh Novel Singkat Diangkat Dari Novel Manusia “Manusia”
Gemuruh, ombak
lautan terdengar seperti murka. Longsoran-longsoran tanah terdengar berdentum,
bebatuan luruh berjatuhan.
Terik mentari,
menggigit mengering, rindukan air, sementara air sulit didapatkan, semua kering
gersang, sungai sungai rusak.
Alam yang indah
itu, sekarang menjadi kerontang. Kemarau panjang bukanlah penyebab utama.
Tetapi kerusakan yang dibuat oknum manusia menjadi pemicu besarnya. Tumbuhan
hijau kering, terbakar, ditebas tanpa ampunan, tersisa puing puing ranting yang
kering itupun diberangus.
Saat itu, bumi
terasa benar-benar murka, panasnya menyambar hingga ke dalam kulit warga.
Hewan-hewan sampai sakit-sakit, bahkan mati kelaparan.
Para warga
panik, yang sebagian berprofesi nelayan dan petani itu pun ketakutan. Takut ada
kutukan yang terjadi. Terjangan ombak, atau bahkan gunung-gunung yang longsor
hingga melontarkan bebatuan hingga perkampungan.
Ketakutan
dimulai dari para Nelayan, Pak Rafi, Ibu Aissyah dan kawan-kawan. Ikan-ikan
tiba-tiba menepi, namun tergeletak tak bernyawa dan menimbulkan bau tak sedap,
bersama ribuan sampah yang juga ikut menepi.
Ketakutan juga
dirasa oleh para nelayan, dari arah hutan pegunungan yang mulai terkikis oleh
kejahatan oknum manusia, gemuruh suara terjatuh, sangat kuat, longsor bebatuan,
dan suara ngauman binatang-binatang mengamuk.
Binatang-binatang
hutan pegungunan itu berlari mengamuk menuju kerumunan nelayan dan petani yang
resah memikirkan situasi yang tengah terjadi.
Beriring suara
ngaum mengamuk itu, terdengar pula suara jeritan minta tolong, dari arah laut
karena gelombang ombak tiba-tiba membesar dan menggulung penambang penambang
pasir dan para pengebom ikan.
“Tolong....
tolong... tolong....” Sebagian dari mereka menepi dan terselamatkan. Sementara
yang lain tergeletak berjatuhan tertimbun reruntuhan, puing kapal, tersangkut
jaring, hingga pasir pasir dan batuan karang laut.
Suara yang sama
juga terdengar dari arah hutan, sekelompok orang berlarian meminta ampun dan
pertolongan dari buasnya binatang binatang mengamuk.
“Tolong...
tolong... tolong...” lagi-lagi suara minta tolong terdengar, seperti bersambut
dengan yang terjadi di laut.
Sebagian orang
tersungkur tertimbun tanah, terpental bebatuan yang runtuh, dan bahkan diamuk
binatang binatang hutan pegungunan.
“Ampun...
ampun...” sebagian dari mereka yang selamat meminta ampun, meminta pertolongan.
Berharap mereka masih bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah mereka
perbuat.
Sementara, Pak
Ahmat, Pak Rafi, nelayan dan petani lainnya menjadi bingung saling tatap satu
sama lain, sebagian besar ketakutan, namun Pak Ahmat dan Pak Rafi mencoba
menenangkan yang lainnya.
“Ada apa ini
pak? Bagaimana nasib kita? Apa yang harus kita lakukan?” ucap Ibu Aissyah
kepada suaminya Pak Rafi.
“Tenang, semua
tenang,” ucap Pak Rafi dengan keras menenangkan semua warga yang tengah
berkumpul.
“Tenang, kita
harus tenang, jangan takut...” Pak Ahmat pun demikian, mencoba menenangkan
untuk semua warga tidak panik.
Pak Rafi dan Pak
Ahmat memiliki usulan kepada nelayan dan petani lainnya. Mereka memutuskan
untuk menceritakan kejadian ini ke Pak Kepala Desa.
Mereka langsung
memutuskan untuk pergi, menghampiri Pak Kepala Desa. Namun dalam perjalanannya,
Pak Kepala Desa bersama Pak RT dan Ibu RT juga tergopoh-gopoh berlarian menuju
sumber suara minta tolong.
Suara langkah Pak
Kepala Desa, Pak RT dan Ibu RT melangkahkan kaki dengan terburu-buru, dan
bertemu dengan Pak Rafi, Pak Ahmat, Nelayan dan Petani lainnya.
“Itu Pak Kades,”
kata Pak Rafi menunjuk beberapa orang yang langkah kakinya terburu-buru
menghampiri mereka.
“Hai bapak
bapak, ibu-ibu, kalian tidak apa-apa,” suaranya tergopoh-gopoh. Maklum saja Pak
Kades termasuk tokoh desa sepuh yang masih dipercaya untuk memimpin desanya.
Baca
Juga : Cerpen Singkat Tentang Orang
Tua Sibuk Bekerja
Dari suara Pak
Kepala Desa ia sudah paham dengan apa yang terjadi pada desanya. Ia berusaha
menayakan kabar dikeadaan yang sebenarnya ia ketahui tengah tidak baik-baik
saja. Ada kepanikan diraut wajah para warganya. Tapi ia juga tetap tenang, agar
warganya tetap tenang.
“Pak di sana,
ada beberapa orang terlihat berlarian dan menerit meminta tolong,” ucap Pak
Ahmat menyambut sapaan Pak Kepala Desa.
“Iya saya sudah
mendengar, suaranya keras, ini saya menuju ke sana,” kata Pak Kepala Desa.
Tanpa
berbasa-basi, mereka semua kembali ke lokasi kejadian tempat dimana binatang-binatang
tampak terliha marah, dan orang orang yang melakukan pembalakan hutan berlarian
ketakutan.
“Tolong....
tolong... tolong....” suara orang
meminta tolong semakin dekat dengan suara gemuruh binatang binatang yang marah.
“Hei kalian, ada
apa...” Pak Kepala Desa langsung bertanya tentang apa yang tengah terjadi pada
mereka.
“A....a...
an.... anu Pak,” suara para oknum perusak lingkungan itu terbata-bata.
Bumi Berguncang
Semua Bangunan
Runtuh
Sangat
Mengerikan
Tiba-tiba, bumi
kembali berguncang, semua bangunan di dekat mereka runtuh, sangat mengerikan,
warga menjerit beradu. Dalam kepanikan mereka semuya mencoba tenang.
“Dan, dan kami
dikejar-kejar binatang-binantang hutan Pak,” sahut perusak lingkungan lainnya.
Pak RT dan Ibu
RT menghadang binatang-binatang yang mengejar-ngejar para perusak lingkungan. Pak
RT dan Ibu RT maju beberapa langkah kedepan, membelakangi warga dan para
perusak lingkungan.
Mereka seolah
berbincang sesuatu hal yang tak dapat dimengerti semua orang yang ada di sana.
Namun binatang-binatang itupun menurut, lalu berbalik arah ke hutan pegunungan.
Pak RT dan Ibu
RT memang dikenal juga sebagai salah satu orang yang dekat dengan binatang
binatang di hutan pegununang, bahkan binatang buas sekalipun. Bahkan karena
keduanyalah sejak puluhan tahun lalu kerap menanam pohon pohon buah yang
menjadi makanan para binatang-binatang di hutan pegunungan.
Sampai akhirnya,
binantang-binantang itu terduduk dan berdiam diri, semua yang hadir merasa lega
karena binatang binatang tersebut menuruti apa yang disampaikan Pak RT dan Ibu
RT.
Sementara,
amarah para warga memuncak, dan meluap ketika para perusak lingkungan itu
menghampiri mereka, meminta tolong dari apa yang tengah mereka alami.
“Itu ulah kalian
semua manusia-manusia serakah!” Pak Rafi marah.
“Kalian tahu,
ulah kalian berimbas pada kami semua. Puas kalian sekarang,” tambah Pak Ahmat
yang juga sangat marah.
Para petani dan
nelayan pun kompak berucap, “dasar manusia-manusia serakah, maunya merusak
tanpa merawat, mau kaya dengan cara yang salah kaprah.”
“Sudah-sudah,
bumi yang berguncang itu tanda Tuhan mengingatkan manusianya yang lalai pada
nikmat yang diberikan,” Pak Kepala Desa tetap tenang dan berusaha menenangkan
warganya.
“Zaharal-fasādu
fil-barri wal-baḥri bimā kasabat aidin-nāsi liyużīqahum ba'ḍallażī 'amilụ
la'allahum yarji'ụn,” kata Pak RT dengan sedikit memberikan pemahaman ilmu
agama kepada para warga dan perusak lingkungan.
“Telah nampak
kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat)
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar),” ditambahkan olehnya arti
dari ayat yang ia sampaikan sebelumnya.
”Wa mā aṣābakum
mim muṣībatin fa bimā kasabat aidīkum wa ya'fụ 'ang kaṡīr.” Ibu RT pun
demikian, melanjutkan apa yang disampaikan Pak RT.
“Dan apa saja musibah
yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan
Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu),” jelasnya.
“Maafkan kami
pak...” kata para perusak lingkungan.
“Maafkan kami Ya
Allah...” tambah mereka.
Para perusak itu
mengakui yang mereka lakukan adalah kesalahan. Kesalahan yang sangat besar.
Bahkan, mereka tak berhenti-hentinya meminta ampun. Mereka pun berjanji untuk
tidak mengulangi kesalahannya lagi.
Tapi apa yang
mereka lakukan memang harus dipertanggungjawabkan. Itu jugalah yang diinginkan
para warga saat ini.
“Semudah itu
meminta maaf setelah merusak tatanan kehidupan,” cetus Ibu Aissyah.
“Bagaimana jika
semua ini runtuh, gelombang laut menerjang, tanah tanah menganga dan melahap
semua manusia, bahkan yang tak berdosa sekalipun,” tambah Pak Rafi.
Pak Kepala Desa
mencoba kembali menengahi, dan mencoba mencari solusi apa yang tengah terjadi.
Sebab, kondisi yang terjadi tak memungkinkan mereka untuk melanjutkan apa yang
tengah terjadi di tempat tersebut.
Pak Kepala Desa
juga mengusulkan untuk segera mengungsi, ke tempat yang lebih aman. Demikian
juga disampaikan kepada para perusak lingkungan tersebut.
“Bertaubat dan
meminta ampunlah pada Allah SWT. Sekarang ini kita mengungsi dulu,” kata Pak
Kepala Desa.
Semua pun pergi
meninggalkan tempat berkumpul karena keresahan yang terjadi sebelumnya.
Episode 5 Novel Manusia “Manusia”
Melanjutkan
kesepakatan penyelesaian konflik yang tengah terjadi. Kerusakan hutan dan laut
tak mungkin didiamkan begitu saja. Dimana lagi para hewan-hewan ini bertempat
tinggal. Begitu juga warga setempat yang menggantungkan kehidupan dari hasil
alam.
Pak Kepala Desa
pun tengah berusaha, mencarikan solusi, mereka semua diminta untuk berkumpul di
Kantor Desa, untuk berdiskui, melakukan pertemuan, memecahkan permasalahan
bersama.
Hingga pada
akhirnya, para penduduk desa, dari nelayan dan petani bersama Pak Kepala Desa,
Pak RT, Ibu RT dan para perusak lingkungan menuju ke kantor kepala desa. Di
sana terjadi pembicaraan untuk mencarikan jalan keluar.
Di Kantor Desa,
sebagian warga masih bingung dan panik akan nasibnya. Sebab, pengashilan mereka
selama ini dari bernelayan dan bertani.
Sementara itu,
Ibu RT dan Pak RT berusaha memberikan pemahaman dengan apa yang telah terjadi
pada desanya.
“Saudara-saudaraku.
Ini ulah manusia-manusia yang sangat dibenci Allah SWT, serakah karena
keinginan untuk kaya tanpa menimbang dampak yang terjadi. Setidaknya, hari ini
kita diingatkan, esok jangan diulangi,” kata Ibu RT.
“Tapi bukan
berarti kita diam. Kita harus perbaiki alam kita. Kita perbaiki bersama sebelum
tanahnya tidak bisa ditumbuhi berbagai macam jenis tanaman lagi,” tambah Pak
RT.
Mendengar apa
yang disampaikan Ibu dan Pak RT, para warga pun melontarkan kesepakatannya.
Setuju akan usulan yang baik untuk mengembalikan fungsi laut dan hutan seperti
sedia kala, asri, dan tempat yang aman dan nyaman untuk semua orang. Termasuk
hewan yang ada di dalamnya.
“Setuju... Tapi
mereka penambang liar, perusak biota laut, dan para pelaku ilegal loging,
pembakaran hutan dan perusak hutan lainnya harus bertanggung jawab,” sorai para
warga.
“Setuju,” nada
kompak oleh warga lainnya, baik para nelayan dan petani menyatakan
kesepakatannya.
Melihat situasi
semakin riuh. Pak Kepala Desa berusaha kembali menenangkan para warganya.
“Tenang...
Tenang...” kata Pak Kepala Desa.
“Iya, mereka
harus bertanggung jawab, jangan sampai ada kerusakan lagi yang menimbulkan
bencana yang sangat mengerikan terjadi di wilayah kita ini,” celetuk Pak Rafi.
“Kita siap
membantu untuk membenahi alam kita yang kalian kalian rusak,” timpal Pak Ahmat.
Petani dan
nelayan serentak menjawab siap. Menyatakan kesiapannya, bahwa ini menjadi
pekerjaan bersama, mengembalikan alam seperti saat saat sebelum dirusak. Meski
lama, dan tidak 100 persen akan sama, setidaknya ada upaya perbaikan untuk
menjaga alam dan lingkungan desa mereka.
Para perusak
lingkungan itupun menyampaikan kesepakatannya. Mereka sepakat untuk bertanggung
jawab. Mereka siap untuk memenuhi apa yang diperlukan dalam perbaikan alam.
Baca
Juga: Dongeng Sebelum Tidur : Si
Kancil Cerdik
“Baiklah, kami
siap bertanggung jawab. Besok, ribuan bibit tanaman akan kami datangkan ke
tempat ini untuk memperbaiki gunung dan hutan,” kata mereka para perusak
lingkungan.
Demikian juga
yang telah merusak biota laut. Mereka semua sepakat menyiapkan terumbu karang,
benih benih ikan, dan biota laut yang ditangkarkan banyak perusahaan, baik
dalam maupun luar negeri, sesuai dengan aturan negara.
Artinya tidak
lagi dengan cara-cara ilegal. Mereka siap membantu memperbaiki tatanan laut
sesuai dengan aturan yang berlaku.
“Kami juga
siapkan terumbu karang dan benih benih ikan laut, dan biota laut lainnya secara
resmi dari para penangkar dari dalam maupun luar negeri,” kata mereka.
Mendengar para
warga sudah mau mengalah dan mencoba membantu apa yang terjadi, dan memahami
apa yang ingin dilakukan dan diberikan para perusak lingkungan untuk
memperbaiki alam kedepan, Pak Kepala Desa menjadi lega.
Ia bersyukur
atas kesepakatan yang telah terjadi. Meski ia tahu, bahwa ini bukan pekerjaan
yang mudah dan sebentar. Butuh waktu yang lama, namun setidaknya ada
kesepakatan bersama, untuk sama-sama melestarikan alam dan menjaganya.
“Syukurlah, mari
kita merawat alam kita lagi..” ucap Pak Kepala Desa.
Semua warga yang
hadir, para nelayan dan petani serta perusak lingkungan, dan juga ada Pak RT,
Ibu RT dan Pak Kepala Desa akhirnya bersepakat, saling memaafkan, dan memulai
semuanya dengan langsung memperbaiki kerusakan yang terjadi pada desanya.
“Baiklah para
warga, besok kita bergotong royong, kembali membangun desa kita tercinta ini,
semoga Allah memudahkan langkah kita semua,” ajak Pak Kepala Desa.
“Aamiin,” para
warga menyambut dengan baik.
Contoh Novel Singkat : Episode 6 Novel Manusia “Manusia”
Dan pada
akhirnya, para nelayan, petani, dan warga lainnya bersama Pak RT, Ibu RT, Pak
Kepala Desa dan para mantan oknum perusak lingkungan yang telah mengakui
kesalahannya memulai memperbaiki alam.
Mereka bersatu
pada kembali menanam tumbuhan hijau di hutan dan gunung gunung yang gundul
diperbaiki.
Sampah sampah di
tepi pantai, di lautan juga ikut dibersihkan, sembari menanam kembali terumbu
karang yang telah rusak, mengembalikan fungsi laut, dan melestarikan biota
laut, berharap ada lagi kehidupan pasca kerusakan itu.
Mereka
bersama-sama berupaya melestarikan lingkungan, merawatnya, dan mengupayakan
yang terbaik untuk masa depan anak cucunya kelak.
Suatu hari
nanti, harapan yang dilakukan saat ini, setelah kerusakan yang teramat parah,
bumi bisa kembali bersahabat, alamnya sehat, warganya kuat dan sejahtera tanpa
lagi harus merusak.
Di setiap
sekolah-sekolah kini imbauan-imbauan menjaga lingkungan juga digalakan. Di
setiap desa pun demikian. Di kota-kota juga. Harapannya terjadi singkronisasi
untuk sama-sama sadar, bahwa menjaga alam dan lingkungan adalah tugas bersama.
Dan pada
akhirnya, kegembiraan ini disambut para warga dengan saling berbalas pantun.
Pantun 1
Pergi ke taman
bersama teman
Sampai di sana
ketemu polisi
Ayolah kawan
jaga lingkungan
Agar bersih dari
polusi
Pantun 2
Jalan jalan ke
Pantai Kuta
Sambil
berolahraga supaya bugar
Jagalah laut dan
hutan kita
Agar udara tetap
segar
Pantun 3
Menonton tv bersama teman
Lebih seru dari sendirian
Ayo jaga kebersihan lingkungan
Karena itu ciptaan Tuhan
Pantun 4
Ada kucing di
depan pintu
Kakinya luka
merah berdarah
Lingkungan
bersih dan bermutu
Itulah ciri anak
SD Muhammadiyah.
Selesai....
Baca Juga: Contoh Cerpen Anak Sekolah -
Rindu Ibu
Itulah contoh
novel singkat yang diangkat dari novel berjudul manusia-manusia, dimana contoh
novel ini merupakan contoh novel tentang bencana alam dan contoh novel singkat
tentang tingkat laku manusia.
Setidaknya dari
contoh novel singkat ini kita bisa mengambil beberapa hikmah dan
pembelajarannya seperti apa manusia seharusnya bertindak dan bersikap kepada
alam dan lingkungannya.
Sekian yang bisa
disampaikan, semoga contoh novel singkat tentang bencana alam dan manusia ini
dapat bermanfaat. Terimakasih. Salam.
Biasakan Tulis Komentar Usai Membaca