Lampung STOP BEGO
“Selamat Hari Pendidikan Nasional,” saya
ucapkan untuk mengawali tulisan saya kali ini pada Selasa (2/5). Nah, kebetulan
juga hari ini adalah hari berbahagia untuk adik-adik saya di tanah air,
khususnya Provinsi Lampung. Karena hari ini juga merupakan hari kelulusan bagi
siswa SMA yang telah melaksanakan rangkaian panjang di sekolahnya hingga dinyatakan
lulus.
Status kelulusan yang menjadi kebegooan
bersama, atau hanya sekedar kecupuan saya karena tidak pernah merayakan
kelulusan seperti mereka, dengan pesta corat coret baju sekolah, atau melakukan
aktifitas sebebas-bebasnya hingga seks yang bebas dan kebegooan lainnya.
Mungkin saya yang cupu karena tidak bisa
menyeimbangkan diri ke dalam lingkungan mereka yang bisa bersenang-senang dalam
merasakan kelulusan dengan coret-coret badan dan melakukan hal yang bebas
lainnya. Karena saat itu yang saya lakukan adalah sujud syukur dan memasakan
makanan sekedarnya untuk dibagikan kepada tetangga kanan dan kiri dan keluarga
besar untuk makan bersama.
Tapi bukan itu saja, di momen hari
pendidikan nasional atau biasa disebut HARDIKNAS ini juga saya ingin
mengevaluasi beberapa hal yang saya lihat, dengar, dan orang-orang telah
bicarakan. Bagaimana pendidikan yang baik adalah mampu menciptakan orang-orang
yang terdidik. Bukan malah menjadikan kebodohan dalam mendidik dan menghasilkan
pendidikan yang tanpa paham.
Ini juga mungkin, ini masih hal-hal yang
menurut saya mungkin terjadi. Sebagaimana yang kita tahu, beberapa waktu lalu
negeri ini sudah mendapatkan pendidikan politik yang luar biasa melalui
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Kita dihadapkan tentang pendidikan politik
yang benar-benar membuat kita benar-benar belajar bagaimana menerima informasi
yang baik.
Tak dipungkiri khususnya Pilkada DKI
Jakarta menjadi perhatian utama di negeri ini. Bagaimana cara-cara para calon
yang ingin berkuasa berselancar hingga ke dunia maya. Ada cara yang santun,
tapi banyak juga cara yang kotor dipasarkan pada arena Pilkada DKI Jakarta.
Sungguh menangis melihat kondisi negeri
ini karena sebatas kursi jabatan yang begitu subtansial direbutkan, warga
negara menjadi pecah belah, diadu domba, dikambing hitamkan, dimusuhi, dianggap
kafir, dianggap komunis, disebut PKI, dicaci maki, hingga terlihat tak ada lagi
harga dirinya.
Negeri ini seperti kegelapan yang
melanda karena hanya perebutan kekuasaan. Lalu, apa yang dibanggakan dengan
Hardiknas pada tahun ini. Ketika pendidikan telah berjalan baik, tapi masih ada
saja oknum yang mencoba mencari keuntungan. Program–program tidak berjalan
hanya sebatas janji dan ambisi. Setidaknya Jakarta sebagai ibu kota dan pusat
pemerintahan baik untuk DKI maupun Indonesia juga yang menjadi patokannya.
Ngeri. Itulah yang bisa saya gambarkan
secara singkat. Pilkada yang kotor baru saja terlihat. Entah ini perang atau
menjual agama sebagai latar utama dalam pilkada. Saya sebagai masyarakat yang
awam hanya menyayangkan. Ketika kondisi politik makin gaduh dan gonjang
ganjing. Ada banyak orang yang memanfaatkan dan mencari keuntungan. Semua mencari
celah asal bisa menang, bagaimanapun caranya.
Politik yang menjadi tak santun, meski
calonnya terlihat santun. Politik yang menjadi tak tegas, meski calonnya
terlihat tegas. Politik menjadi barang yang hitam ketika semua menghalalkan
segala cara. Membagi-bagi sembako, kedok menjual semabko murah, membantu
masyarakat miskin dengan latar janji dan ancaman, SARA, dan lain halnya yang
memang membuat pilkada semakin menjadi tidak nyaman.
Benar kata bapak saya: ketika kamu
menjadi seorang politisi, sekalipun baik, kamu akan terlihat kotor oleh banyak
orang.
Inilah singkat cerita apa yang bapak
ajarkan kepada saya. Bagaimana berpolitik memang suah kita lakukan sejak kita
masih berupa sperma, yang harus berebut dan satu yang menjadi juara.
Namun, setidaknya Jakarta benar-benar
mengajarkan kita semua. Pilkada yang tak sehat dan tak cerdas. Tim hoax
berkeliaran. Orang-orang bego dipermainkan. Faktor suka dan tidak suka menjadi
kuda-kuda. Terlihat bagaimana nafsu menjadi orang-orang sebagai orang yang
gila.
Jakarta juga yang mengajarkan
orang-orang di provinsi lain untuk memainkan isu agama dan komunis. Berusaha kembali
memecah belah kebersamaan dan kenyamanan di daerah. Karena isu-isu tersebut
dianggap berhasil.
Saya tak sekalipun mendukung Ahok dan
wakilnya, tak juga mendukung Anies dan wakilnya. Begitupun saya tak mendukung
Jokowi dan wakilnya, terlebih Prabowo dan pasukannya. Begitu jugalah di
Provinsi Lampung. Saya pastinya mendukung siapapun mereka yang berhasil
memenangkan kontelasi politik yang cerdas, bukan dengan cara yang kotor dan
tampak santun namun tak punya sopan santun.
Bisa saja calon pemimpin yang tidak
berbuat. Tapi timnya membuat petaka yang menghasut antar sesama. Bisa saja
calon pemimpinnya tidak bertindak kasar. Tapi mungkin saja tim atau
pendukungnya yang membuat perkara. Karena politik seolah halal melakukan apa
saja. Termasuk membuat perpeperangan antar sesama yang tak sesama dukungan,
pilihan, pola pikir, dan ideologi.
Kini di Provinsi Lampung saya katakan
STOP BEGO. Berharap bahwa di daerah bisa cerdas dalam berpolitik. Benar-benar
adu strategi dan gagasan bukan menjual agama yang berujung SARA.
Saya miris ada sebuah grup di Facebook dengan
nama Mencari Gubernur Lampung Baru. Yang sudah mulai bergeriliya memainkan isu
agama, komunis, dan hal-hal yang tidak santun. Ini tanda orang yang tak siap
dalam berpolitik. Terlihat orang-orang seperti ini tidaklah cerdas, dan tidak
punya ilmu politik yang mumpuni. Yang bisa ia lakukan adalah membakar bara yang
ia juga tak pernah tahu sumbernya dari mana. Itu menyedihkan.
Yang saya sedihkan lagi. Grup yang
seharusnya mencerdaskan, justru malah mencacatkan pikiran yang akhirnya
menyesatkan. Saling serang, saling tikam, saling adu argumen yang tak cerdas
mulai diperangkan. Saling merasa bahwa yang didukungnya adalah yang paling
sempurna.
Ada yang menyerang dengan kasus “Perselingkuhan”:
ada yang mengingatkan tragedi bagi-bagi “Gula”: ada yang menganggap tak pantas
seorang yang membangun daerahnya dengan cara “Hutang” hanya untuk sebuah fly
over, ada juga yang menganggap sebuah program “Ronda” adalah pencitraan. Dan masih
banyak yang lainnya yang memang selama ini calon-calon yang timnya menghiasi
sosial media adalah putra dan putri terbaik di Provinsi ini. Sekali lagi
serangan itu jika memang berdasarkan fakta, disampaikanlah dengan cerdas, dan
jika bukan fakta jangan jadikan hoax yang berlanjut. Namun, setidaknya selama
ini juga ada tim yang berjalan dengan cukup bagus dan tertata, sehingga tidak
terlihat begitu bodoh dalam melakukan pembelaan terhadap calonnya.
Seandainya mereka semua yang mengaku
orang-orang calon atau tim pemenangan bisa damai dan sejuk. Menciptakan kondisi
iklim politik yang cerdas, tidak saling serang hal yang belum tentu benar, maka
kita akan tahu siapa yang terbaik dari calon yang terbaik.
Tapi yang perlu diingat adalah, jangan
jadikan Lampung sebagai ajang politik yang tak santun. Bagi-bagi gula misalnya,
atau bagi-bagi sabun, atau bagi-bagi uang dan sembako. Karena mereka sudah
sangat cukup mengeluarkan uang banyak saat mengenalkan dirinya sebagai calon. Menciptakan
ribuan banner, menciptakan ribuan iklan dan selogan, hingga membentuk tim
pemenangan itu kan biaya tidak sedikit. Asal santun, dan perang program,
tampaknya politik bagi-bagi tak perlu dilakukan. Ayo Lampung Stop Bego dengan
pilkada yang tak sehat.
Biasakan Tulis Komentar Usai Membaca