Cerita Mandiri Hingga Dipercaya Ikut Membangun Literasi Negeri
MENULISINDONESIA.COM
– Saatnya anak muda berkreasi. Anak muda terus bereksistensi dan membuat pola
pikir dan contoh peduli terhadap gerakan literasi saat ini bukan lagi selogan
basa-basi. Terlebih membangun minat baca dan minat tulis di negeri ini. Pemuda punya
peran. Harus dimulai? Begitulah sekiranya keyakinan yang muncul pada diri saya.
(Klik juga: Perpuseru, Aku, Kamu, Dia, Dan Literasi Seru)
(Klik juga: Perpuseru, Aku, Kamu, Dia, Dan Literasi Seru)
Melalui WWW.MENULISINDONESIA.COM saya akan
berbagi pengalaman dari memangement pribadi diri untuk terus membantu giat
literasi secara mandiri hingga akhirnya dipercaya pemerintah untuk membuat
sebuah gerakan yang saya yakini akan mampu berkontribusi terhadap kemajuan
literasi, baik terus menumbuhkan minat baca dan minat tulis di negeri ini.
Saya memulai cerita dari Provinsi
Lampung. Ini adalah Provinsi kelahiran saya. Saya adalah keturunan Jawa, lahir dan
besar di Sumatera. Tapi di manapun asalnya itu saya tak peduli. Yang saya
yakini di manapun saya berada, saya harus berkontribusi, karena saya satu
INDONESIA.
Memulai komunitas di Komunitas Malam
Puisi Bandar Lampung, saya mulai kembali menekuni aktifitas saya di dunia
puisi. Resign dari salah satu perusahaan media terbesar di Provinsi Lampung tak
lantas membuat saya berhenti untuk menulis.
Justru di sini awal mulanya. Saya mulai
aktif menulis fiksi. Saya berhasil terbitkan novel berjudul HuJanuari, setelah
sebelumnya antalogi puisi Alibi Pemimpi. Bahkan, dalam waktu dekat ini Puisi
Badai Dalam Secangkir Kopi, dan Novel Begal Cinta.
Dari Novel HuJanuari ini jugalah
saya akhirnya berhasil menjadi seorang jomblo yang penuh dengan kreatifitas,
bukan menjadi jomblo yang kerap baper patah hati. Itu tak pernah saya peduli. Yang
saya tahu adalah berbuat untuk negeri.
Setelah launching dan difasilitasi
oleh toko buku Fajar Agung dan Pemerintah Provinsi Lampung, melalui Badan
Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi (BPAD) Daerah Provinsi Lampung saya pun
sampai punya inisiatif.
Akhirnya dengan beberapa rekan saya
membuat sebuah gerakan literasi. Yakni, membuat Perpus Keliling Lampung (PKL).
PKL sendiri awalnya hanya menggelar buku kolekasi pribadi untuk masyarakat.
mendekatkan akses baca kepada khalayak umum. Termasuk anak-anak.
Namun, dalam implementasinya juga,
PKL bekerjasama sebagai wadah fasilitasi komunitas lainnya untuk mendapatkan
akses buku dengan mudah. Seperti yang sudah dilakukan bersama Komunitas Jendela
Lampung, CEO, TBM Kampung Merdeka, Rumah Literasi Mbah Mul, dan masih banyak
lainnya.
Gerakan ini gerakan tulus dan ikhlas
demi cerdasnya generasi bangsa. Baik ikut serta disetiap kegiatannya, juga
membuka buku bacaan di acara yang mereka gelar. Bahkan, menjadi fasilitator
mereka untuk mendapatkan akses buku secara tepat guna, tanpa ribet dan ribut.
Sampai akhirnya Komunitas Jendela
Lampung dan CEO memperoleh hasil yang luar biasa. mendapatkan CSR 150 juta,
atau 150 kg bantuan buku berjumlah total 500 buku. Itu baru dari satu intansi
yakni Perpustakaan Nasional RI. Itu hasil koordinasi yang baik bersama BPAD
Provinsi Lampung. Alhamdulillah, hasilnya luar biasa.
Kedua komunitas ini pun masih
menanti bantuan dari gerakan intansi lainnya. Semoga berjalan baik dan berkah. Visi
misi untuk cerdaskan anak bangsa kita terus perjuangkan.
Tak berapa lama, saya pun dihubungi
kembali. saya diminta untuk mengajukan profil komunitas saya, yakni PKL ke
Perpusnas. Saya respon cepat. Dan alhamdulillah rekomendasi saya yang dulu TBM
Kampung Merdeka juga diproses. Jadi ada tiga lagi di Lampung yang mendapatkan
kesempatan.
Saat perwakilan Perpustakaan
Nasional RI datang ke Lampung lalu ada diskusi dengan budayawan, asisten I
Provinsi Lampung, dan ada peserta dari Perpusda Provinsi hingga kabupaten/kota
saya dengan lantang mengkritik kenapa minat baca di negeri ini rendah.
Jujur dengan berapi-api. Dengan sedikit
tendensi nada yang tinggi. Kenapa ini terjadi? Mau tak mau saya salahkan diri
saya. Lah kenapa? Ya, kenapa saya masih tidak bisa dipercaya pemerintah untuk
ikut serta mencarikan mereka akses baca.
Kok jadi melebar begitu? Ah, itu
sedikit racau saya. Jadi seperti ini, jujur saya marah dengan pemerintah. “Sebelumnya
perkenalkan saya Yoga Pratama, perwakilan komunitas di Provinsi Lampung. Yang
saya sampaikan di awal ini, kami komunitas siap membantu pemerintah jika
dibutuhkan,” itu nampaknya yang saya sampaikan, sedikit lupa, tapi tidak juga,
semoga benar. Pekikan saya ditanggapi
setuju dengan teman-teman komunitas lainnya.
Lalu, saya lanjutkan berapi-apinya
saya dalam berbicara. “Saya sadar, pemerintah itu patokannya dianggaran. Nggak kaya
kami, bisa gerak kapan saja, tanpa anggaran kalian,” sekiranya begitu.
Lalu, saya minta kesempatan kepada
pemerintah berikan akses, bukan anggaran. Akses yang kami maksud saat itu bisa
tempat, fasilitas, dan program yang melibatkan komunitas. “Saya tak berharap
sepeserpun, jangan anggap kami LSM. Anggap kami kaum terdidik yang mau ikut
membangun bangsa ini dengan kemampuan kami,” lantang.
Saat itu saya pun bercerita dengan
kemampuan akademis saya yang cetek. Seorang A.md dihadapan sarjana, bahkan
magister. Kritik saya adalah, selama ini permasalahan dengan minat baca rendah
itu bukan masyarakat tidak ingin membaca. Tapi aksesnya yang tidak ada.
Saya contohkan saat itu, masyarakat
Pulau Tegal, Pesawaran. Dengan sungguh luar biasa keinginan membaca itu banyak.
Tapi, aksesnya yang tidak ada. Itu kan sia-sia. Kita berteriak di kota-kota
besar ayo baca, ayo menulis, tapi di daerah pinggiran kita buta.
Di mana pemerataannya? Selama ini
buku hanya berputar di pusat kota/dan kabupaten, mau dikemanakan masyarakat dan
anak-anak pinggiran. Cukup hanya menjadi petani dari ilmu turun menurun
ayahnya. Cukup menjadi tukang cuci turun menurun dari ibunya. Saya rasa tidak.
Ada juga yang gerah. Seusai acara
mendatangi saya. Tapi saya cuekan. “Mas, kami ini bukan nggak mau ke pulau itu.
Tapi anggarannya nggak ada. Lagi pula buku kami koleksinya baru 10.000.” saya
pun emang gue pikirin. 10.000 itu kalau 100 buku saja sistem pemutaran setiap
bulan, pasti merata dan berjalan. Ini kan cuma males, karena nggak ada upeti
uang jalan. Apakah di Indonesia semua yang dikerjakan harus berbalas duit. Kan tidak.
Jujur sikap seperti itu yang saya
kecewakan. Karena sebenarnya mereka yang tak ada anggaran, cukup ajak komunitas
untuk bersatu padu. Komunitas tak kenal medan. Asal ada kemauan dan kekompakan
pasti berperang. Sesulit apapun aksesnya. Apalagi ada dorongan pemerintah buh,
kita hantam dan semangat, karena ada akses yang dibuka.
Hari ini dan esok hari. Saya punya
keyakinan literasi negeri ini bangkit. Saya masih kerap diberi kesempatan dan
diminta untuk membantu giat literasi ini. Saat ini meski sekalanya di Provinsi
Lampung. Tapi saya percaya diri, sangat pede, bahwa ini akan menular. Virus ini
juga yang saya tularkan ke teman-teman saya di Provinsi Lampung. Salam
literasi. Sukses untuk kita semua.
1 komentar:
Add komentarNitip ya ide-ide yang kemarin buat acara Perpus atau Taman Baca
ReplyBiasakan Tulis Komentar Usai Membaca