Contoh Cara Mengirimkan Puisi Untuk DI Publish di Lampung Post
Memang ini baru yang pertama kali bagi saya, puisi saya diterbitkan di Lampung Post. Dan mungkin ini bisa dijadikan contoh untuk kalian yang ingin mencoba juga untuk mengirimkan puisi ke Lampung Post. Untuk Honorium dari puisi tersebut, bisa tanyakan sendiri ke Lampung Post secara langsung.
contoh puisi yang sudah terbit dan dikirimkan melalui dokumen.
PUISI
(YOGA PRATAMA) : Kulapangkan Hati Pada
Pertemuan, Pertemuan Adalah Catatan Waktu, Diantara Resah dan Rindu, Panggung Budaya tak Boleh Di Lupa, BALADA PENULIS
EMAIL:
goymenulissederhana@gmail.com , No Hp: 085268790024
Alamat :
Simbarwaringin 11a, Kelurahan Simbarwaringin, Kecamatan Trimurjo, Kabupaten
Lampung Tengah
1
Kulapangkan Hati Pada
Pertemuan
Senyum
yang kutemukan merekah bagai bunga
sejak
pagi yang menggigilkan tubuh
hingga
senja mengajak pulang
kulapangkan
hati pada pertemuan.
Didepanku
ada panggung yang kian mengajakku terus menatap
dan
ada langkah-langkah merdu menyampaikan pesan
ada
juga secarik kertas untuk menjadi berkas
tapi
tak ada pertemuan yang cepat menjadi bias.
hanya
sepatah saja, tapi tak akan ada gelisah hingga senja merubah cahaya
tetap
kulapangkan hati menuju dunia yang sedang kujalani
mungkin
begitu juga dengan yang lain.
Lalu,
pertemuan ini biarlah menjadi kenangan tersendiri.
YOGA
PRATAMA, 1 September 2016, Jagabaya II, Way Halim, Bandarlampung
2
Pertemuan Adalah
Catatan Waktu
Pertemuan
adalah catatan waktu
menjadi
bingkai
menjadi
musim
menjadi
dunia
tatap
mata itu seperti anak panah
nada
dari mulutnya tak kunjung usai menyampaikan pesan
bahkan
kakiku tak mampu untuk melangkah mematahkannya
terus
menancap pada tatap mata dan nada yang kau sambungkan
takkan
habis, karena dihadapanmu berkarat pada waktu adalah ilmu
YOGA
PRATAMA 16 September 2016, Jagabaya II, Way Halim, Bandarlampung
3
Diantara Resah dan
Rindu
Sedari pagi aku yang berjalan bersama resah
Sedari siang aku masih berteman resah
Hingga ini malam aku semakin kalap karena resah
Aku takut akan dirimu marah
Karena kerinduanmu tak pernah bisa dijamah
Karena akupun tak bisa tepikan resahmu akan diriku.
Sedari siang aku masih berteman resah
Hingga ini malam aku semakin kalap karena resah
Aku takut akan dirimu marah
Karena kerinduanmu tak pernah bisa dijamah
Karena akupun tak bisa tepikan resahmu akan diriku.
Gunung-gunung yang menjadi teman
Laut-laut menjadi kekasih
Hutan-hutan menjadi saksi dalam perjalanan
Aku jauh dan kamu terjauh
Tapi aku akan datang
Dan kita sama-sama hapuskan rindu
Lalu kita terlarut dalam cumbu
Laut-laut menjadi kekasih
Hutan-hutan menjadi saksi dalam perjalanan
Aku jauh dan kamu terjauh
Tapi aku akan datang
Dan kita sama-sama hapuskan rindu
Lalu kita terlarut dalam cumbu
22 september 19:20 kamis, Pagar Jaya, Punduh Pedada,
Pesawaran. Pantai Karang Penyinguk
4.
Panggung Budaya
tak Boleh Di Lupa
Panggung bagi kita hanya sebuah pesan lupa.
Selebihnya tampak punggung,
dapat dihitung, pesan lupa untuk tak lupa.
Tak ada panggung yang sebenarnya panggung.
Sisanya hanya tampak punggung.
Selebihnya tampak punggung,
dapat dihitung, pesan lupa untuk tak lupa.
Tak ada panggung yang sebenarnya panggung.
Sisanya hanya tampak punggung.
Dari lupa, lalu alpa, sebelum mati
panggung kembali di dekorasi.
Budaya panggung tahunankah untuk dinikmati.
Kemudian entah kapan lagi mata memandangya,
kemudian entah kapan jemari ikut menari,
kemudian entah kapan senyum ikut menyeringahi.
Lalu, tak jadi lupa, melainkan menjadi menu sepanjang pagi.
panggung kembali di dekorasi.
Budaya panggung tahunankah untuk dinikmati.
Kemudian entah kapan lagi mata memandangya,
kemudian entah kapan jemari ikut menari,
kemudian entah kapan senyum ikut menyeringahi.
Lalu, tak jadi lupa, melainkan menjadi menu sepanjang pagi.
Adakah di tanahku ini
panggung yang tak cepat jadi punggung
kemudian menjadi lupa
melihatnya seperti pelangi yang bermimpi.
panggung yang tak cepat jadi punggung
kemudian menjadi lupa
melihatnya seperti pelangi yang bermimpi.
Di tanah ini budaya tak boleh lupa
2015,
Yoga Pratama
5.
Balada
Penulis
Aku menyanyikan sajak melalui
hati tanpa melalui mulut. Aku menulis gelisah, gelisah itu menjadi tulisan, dan
tulisan itu menjadi bacaan, tak sedikit yang membaca menangis, tertawa, bahkan
dijadikan sebuah lagu untuk dinyanyikan.
Aku menulis dan itu aku bercerita, tentang kamu, tentang dia, tentang bahagia, tentang luka, dan tentang sepi. Aku menulis dan itu aku bercerita, tentang lalu, tentang depan, tentang tampak dan tentang yang tak tampak.
Dan kamu pun menulis. Sebisanya saja. Tentang apapun. Kita sama-sama menulis. Lalu, berdialoglah kita. “Sejak kapan kota ini menulis. Eh sejak kapan kita ini menulis. Eh sejak kapan tulisan yang kita tulis dapat melukis sebuah kota, sebuah nasib, sebuah kekecewaan, sebuah kebahagiaan, dan sebuah harapan. Sejak kapan?” Katamu.
“Sejak kita tahu kita akan menulis,” tutupku.
2014,
Yoga Pratama
Biasakan Tulis Komentar Usai Membaca