Wajah Pendidikan di Pulau Tegal-Pesawaran, Kemarin dan Hari Ini
Satu
tahun sudah, SP3T (Sukarelawan Peduli Pendidikan Pulau Tegal) berupaya dengan
serba keterbatasan sebagai manusia untuk turut menjadikan Pulau Tegal yang
masuk dalam Desa Gebang, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Pesawaran, Provinsi
Lampung bak gadis remaja yang pada akhirnya memiliki banyak penggemar.
Saya
jadi ingat, pertama kali saya datang di Pulau Tegal, tepat di hari ulang tahun
saya ke 25. 02 Februari 2017, seperempat abad umur saya, dengan menyaksikan
betapa pilunya pendidikan di negeri ini. Ini teramat jelas. Masih di satu
provinsi di mana saya lahir dan berpijak hingga seperempat abad.
Pada
03 Februari 2017, selang sehari dari kedatangan saya. Pada akhirnya saya
menuliskan sedikit catatan dalam blog pribadi saya ini. Sebuah gambaran dari
kaca mata saya selaku pecinta buku dan tulisan. Dari kaca mata saya yang jauh
dari kata kurang sempurna. Dari kaca mata Yoga Pratama yang sempat tulisan saya
menjadi pro dan kontra, karena dinilai melecehkan beberapa orang, padahal saya
tidak pernah mendeskreditkan seseorang dalam tulisan saya tersebut.
(Selengkapnya bisa di baca : Aku Melihat Masa Depan yang
Indah Dari Mimpi Mereka)
Jujur,
saya kagum dengan keindahan yang dimiliki Pulau Tegal. Tak hanya bentangan
pantai. Keindahan bawah laut yang mengagumkanpun mendecak dan masih menempel
pada ingatan.
Pulau
Tegal, siapa yang tak kenal keindahannya (Selengkapnya baca : Serunya
Berwisata Ke Pulau Tegal). Bahkan, Pulau Tegal juga
saya dedikasikan sebagai wilayah yang membuat saya gagal move on. (Bisa dibaca
juga : Tempat-Tempat Wisata di Lampung
Ini Bisa Membuatmu Gagal Move On).
Bagaimana tidak. Di Pulau Tegal saya seolah berkaca pada diri
sendiri. Berpikir bagaimana cara menyelamatkan anak-anak yang luput dari
ingatan pemimpin di negerinya sendiri. Mereka (masyarakat berpolemik dengan
hidup dan nasib). Solusi tidak hadir. Mereka mau menjemput bola. Bola warna apa
yang sedang dimainkan mereka saja tak tahu. Mereka dalam keterbatasan ilmu dan
waktu.
Saat itu, anak-anak usia sekolah di Pulau Tegal teramat
sangat butuh bantuan dari berbagai pihak. Tak ada pendidikan formal. Sementara semangat
juang anak-anak untuk sekolah amat membara. Seperti api yang diumpamakan takkan
pernah habis tergusur air ombak sekalipun. Tapi namanya semangat, terkadang
harus direlakan jika kenyataan pahit hidup lebih berat.
Artinya, bukan mereka yang harus melek. Orang-orang yang
peduli yang harus hadir memberikan pemahaman. SP3T yang dikomandoi Ibu Uniroh,
seorang kepala sekolah SMP membuka jembatan untuk anak-anak. Bersama para
relawan lain turut berjualan.
Jualan yang maksud bukan konotasi negatif. Tapi menjabarkan
apa yang tengah terjadi. Jualan yang dimaksud adalah mendatangkan para dermawan
hadir untuk melihat, hingga pada akhirnya turut membantu nasib pendidikan
anak-anak Pulau Tegal ini.
SP3T dan para dermawan-dermawan yang hadir pun ikut membuka
cakrawala dunia. Keterbatasan ilmu, keterbatasan buku, keterbatasan motivasi,
satu persatu seperti tembok yang digempur habis-habisan agar runtuh.
Betapa miris, sebelum pada akhirnya memutuskan untuk
konsentrasi secara penuh di Pulau Tegal, saya tak bisa melanjutkan pikiran saya
dalam membayangkan, jika kalian sang dermawan yang telah turut membantu tidak
hadir. Pertanyaannya? Apakah selamanya anak-anak di sana tidak mengenyam
pendidikan secara formal karena jauh jarak yang harus ditempuh. Tidak adanya
sarana transportasi yang memudahkan. Dan tidak adanya yang memotivasi untuk
meraih cita-cita.
Belum lagi, latar belakang pendidikan orang tua yang relatif
rendah. Pak Basri, juga hadir menjelma pahlawan yang tak bisa lagi untuk dihitung
sebagai pahlawan. Hanya berbekal pengetahuan dan pengalaman selama di bangku
sekolah dasar, sebatas itu, ia turut secara sukarela mengajarkan anak-anak
sekedarnya membantu baca dan tulis. (Maaf saya terlalu melankolis jika
menuliskan kisah anak-anak).
Saya masih sangat ingat, ketika tanya jawab dengan para orang
tua, dan para orang tua di sana pada umumnya beranggapan yang terpenting anak
dapat membaca dan berhitung, sehingga nantinya bisa menjadi modal sebagai buruh
nelayan atau bertani atau ke kota menjadi pelayan di rumah makan.
SP3T
pun dibentuk, 15 September 2016, Kepala Sekolah SMP Negeri 25 Pesawaran Dra Uniroh
Utami bersama gadis manis Desta Sagita SPd, dan ibu muda yang jelita, Lestari
MPd menginisiasi berdiri organisasi tersebut.
Saya
masih sangat ingat kutipan Bu Uniroah yang satu ini, “Mereka punya hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Terlebih lagi
dengan adanya Program Wajib Belajar.”
SP3T pun didirikan bertujuan memberikan motivasi kepada
anak-anak dan orang tua tentang arti penting pendidikan dan membantu turut
serta mengikhlaskan anaknya agar terus bisa mendapatkan hak pelayanan
pendidikan formal dari pemerintah sebagaimana seharusnya.
Dan
alhamdulillah, setahun perjuangan bukanlah perjuangan yang mudah. Di bantu
dengan beberapa media yang tak bisa saya sebutkan satu per satu. Bantuan dari
pihak pemerintah yang digawangi pihak Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi
Lampung dalam membantu akses buku-buku, dan pihak-pihak lain yang telah
mengucurkan waktu, keringat, bahkan uangnya untuk terciptanya pendidikan di
Pulau Tegal.
Hari
ini, Pulau Tegal pun memiliki KBM (Kelompok Belajar Masyarakat) atas izin dan
restu pemerintah pusat. Bahkan, salah satu anggota DPD RI datang memberikan
bantuan uang untuk honorium para pengajar. Belum lagi semangat TNI yang
tertanam pada NKRI menjadi contoh tauladan di Pulau Tegal (sampai teringat
sebagian besar di sana ingin jadi tentara, polisi, sampai jadi marinir,
rata-rata cita-citanya mulia, semoga aamiin), begitu juga dengan semangat
Baznas dengan semangat terangnya. Dan semua yang membantu, tak ada kata lain,
selain salut untuk kalian semua. Terlepas dari pencitraan apapun, saya tak
pedulikan, tapi itulah wujud ketulusan mereka tanpa pencitraan, bagi saya.
Fasilitas
pendukung kegiatan belajar mengajar yang diperlukan anak-anak serta fasiltias
MCK yang memprihatinkan, terlebih rumah belajar yang tak terawat kini mulai
dipugar dan bisa menjadi arena yang nyaman bagi anak-anak.
Pulau
Tegal, sekarang, terus menjadi harapan semua pihak. Sebagai salah satu
destinasi wisata yang indah di Lampung dengan luasan 98 hektare dan dihuni
tidak kurang dari 35 kepala keluarga, Pulau Tegal bisa menjelma sebagai pulau
yang ramah terhadap pendidikan anak.
Sehingga,
tak hanya menjadi tempat lokasi penelitian mahasiswa di Lampung yang tak juga
bisa menyumbangsih apapun di Pulau Tegal, pastinya kedatangan mereka esok bisa
ikut menyumbangsih besar terhadap nasib pendidikannya. Artinya, tak hanya kejar
pendidikan diri sendiri, tapi cobalah sedikit tengok nasib anak-anak yang lain.
Akhir
kata. Terimakasih untuk semua pihak. Maaf jika tulisan ini, masih dirunut
teramat kasar untuk dibaca. (Saya terlalu melankolis jika berbicara tentang
nasib anak-anak).
Biasakan Tulis Komentar Usai Membaca